Ketika kita
berbicara tentang kritik, kebanyakan orang merasa menghadapi dilema apakah
nanti tidak jatuh pada ghibah...? padahal ghibah adalah dosa besar yang sangat
dilarang dalam agama Islam. Sebagaimana kita ketahui dalam QS Al-Hujurat :12
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujuroot : 12)
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujuroot : 12)
Ghibah atau
membicarakan orang lain yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang dibencinya
meskipun yang dibicarakan itu benar adanya, adalah dosa besar. Keharamannya
disebut dalam ayat di atas dengan permisalan yang sangat menjijikkan.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,
"Setiap muslim
haram darah, harta, dan kehormatannya atas muslim lainnya."
(HR. Muslim)
Ibnu Abbas mengatakan, "Sesungguhnya
Alloh membuat perumpamaan ini untuk perbuatan ghibah, karena memakan daging
bangkai adalah perbuatan haram yang menjijikkan, begitu juga ghibah, haram
dalam pandangan agama dan buruk menurut penilaian jiwa."
Qatadah berkata, "Sebagaimana salah seorang
kalian dilarang memakan daging saudaranya yang sudah mati, begitu juga wajib
menjauhi menggunjingnya sewaktu ia masih hidup.”
Imam al-Qurthubi mengatakan, "Ijma'
menyatakan bahwa ghibah termasuk salah satu dari dosa besar. Dan wajib
bertaubat kepada Alloh darinya."
Namun, dalam beberapa kondisi ternyata ghibah itu dibolehkan. Ibnu
Katsir dalam menafsirkan ayat ghibah di atas mengatakan, "Ghibah
(menggunjing) diharamkan menurut ijma'.
Tidak ada pengecualian darinya kecuali jika ada mashlahat yang lebih,
seperti dalam konteks jarh wa ta'dil dan nasihat." Khususnya apabila dia menjadi
satu-satunya jalan untuk tercapai tujuan yang benar dan masyru’ (sesuai
syariat). Contohnya, mengadukan kedzaliman orang atas dirinya, meminta fatwa,
memberi nasihat, memperingatkan manusia atas kejahatan orang, meminta bantuan
untuk merubah kemungkaran, serta untuk memberitahukan hal ihwal seseorang.
Ketika berbicara
mengenai jabatan kita semua faham bahwa jabatan yang melekat pada seseorang
adalah sebuah amanah, yang harus ada pertanggungjawabannya baik dihadapan
manusia maupun dihadapan Allah SWT. Dalam sebuah hadits disebutkan,
Dari Abu Dzar RA Ia berkata
“saya bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku? Maka beliau menepuk
bahuku, kemudian bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sungguh kamu seorang yang lemah,
sedangkan jabatan adalah suatu kepercayaan, yang pada hari kiamat merupakan
suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan hak
dan menunaikan dengan sebaik-baiknya. (HR. Muslim).
Ada beberapa pelajaran
dari hadits diatas :
Pertama, memberikan gambaran betapa cintanya Rasulullah SAW kepada para
sahabat2nya. Beliau tidak ingin sahabatnya terjerumus kedalam kebinasaan
sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam hadits tersebut
Rasulullah tidak mau memberikan jabatan kepada Abu Dzar karena beliau tahu
betul akan kelebihan dan kelemahan para sahabatnya. Abu Dzar adalah orang yg
lemah, sementara jabatan, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang kuat, berani
dan bermental baja disamping harus jujur dan amanah.
Seorang pejabat adalah seorang yang mampu menempatkan sesuatu secara
profesional, memiliki visi ke depan tidak hanya kepentingan sesaat, pendek dan
semu. Namun sampai jauh ke depan yakni negeri akhirat.
Kedua, hadist tersebut mengisaratkan kepada
kita terutama bagi mereka yang memegang jabatan atau kekuasaan bahwa sesungguhnya
jabatan adalah amanah, Amanah dari Allah dan juga amanah dari masyarakat/ummat.
Pemahaman tentang pentingnya Right Man on The
Right Place terhadap sebuah amanah inilah yang kadang telah membuat orang lupa
terhadap obyektifitas terhadap kemampuan sesorang. Subyektifitas kelompok dan pribadi akan mendominasi dalam proses
penentuannya. Untuk itu marilah kita kaji bersama agar dalam proses penentuan
seseorang akan jabatan lebih mengedepankan obyektifitas.
Untuk itu ada beberapa faktor yang harus dipenuhi dalam menentukan
siapa yang akan ditunjuk sebagai pengemban amanah agar muncul obyektifitas yang
sesungguhnya.
Pertama : Calon
pemegang amanah tentunya memili
Ketahuilah bahwa
Ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah menurut syari’at, di mana ada suatu
keperluan yang tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan ghibah tersebut. Ada enam kondisi yang
membolehkan ghibah dilakukan:
Pertama, mengadukan
kezhaliman (at-tazhallum). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk
mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang
memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut
keadilan ditegakkan, misalnya dengan mengatakan Si Fulan telah melakukan
kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu
Kedua, permintaan bantuan
untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiyat pada kebenaran (al
isti’ânah ‘ala taghyîril munkar wa raddal ‘âshi ila ash shawâb). Maka
seseorang boleh menyampaikan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan
kemungkaran tersebut dengan mengatakan Si Fulan telah berbuat begini, hingga
selamatlah orang tersebut dari kemaksiyatan atau kemungkaran. Ataupun dengan
pernyataan lain yang sejenis dengan itu, yang jelas maksudnya adalah mengarah
kepada terhilangkannya suatu kemungkaran. Tapi jika tidak mengarah kepada hal
semacam ini, maka tersebut adalah haram
Ketiga, permintaan fatwa (al istiftâ`). Misal seseorang
mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), ayahku (atau
saudaraku atau suamiku atau fulan) telah menzhalimi aku dengan cara begini.
Lalu apa yang harus aku perbuat padanya?; bagaimana cara agar aku terlepas
darinya, mendapatkan hakku, dan terlindung dari kezhaliman itu? Atau pernyataan
apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih
tepat dan lebih afdhal jika ia mengatakan, bagaimana pendapat Anda tentang
orang atau seoseorang, atau seorang suami yang telah memperbuat hal seperti
ini? Maka ini dapat membuatnya mencapai hasil (jawaban) tanpa harus menyebutkan
rinciannya (tanpa perlu menyebut siapa orangnya, red). Meskipun demikian, tetap
diperbolehkan untuk melakukan rincian (at ta’yîn), sebagaimana yang akan
kami sebutkan dalam hadits dari Hindun nanti, insyaallah.
Keempat, memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap
suatu keburukan dan menasihati mereka (tahdzîrul muslimîn min asy syarr wa
nashîhatuhum). Ini ada beberapa bentuk, diantaranya adalah menyebutkan
keburukan sifat orang yang memang pantas disebutkan keburukannya (jarhul
majrûhîn) yakni dari kalangan para perawi hadits dan saksi-saksi (di
pengadilan, red). Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan
bisa menjadi wajib untuk suatu keperluan tertentu. Contoh lainnya adalah
meminta masukan atau pendapat (musyawarah) tentang rencana melakukan pernikahan
dengan seseorang (mushâharah), kerjasama, memutuskan kerjasama,
mua’amalat dan lain sebagainya, atau tentang hubungan ketetanggaan. Maka wajib
bagi orang yang dimintai masukan untuk tidak menyembunyikan informasi seputar
orang yang ingin diketahui keadaan dirinya. Bahkan ia mesti menyebutkan
perangai-perangai buruknya yang memang diniatkan untuk melakukan nasehat.
Contoh lainnya lagi adalah jika seseorang melihat orang lain yang belajar agama
yang berulang kali datang kepada orang yang berbuat bid’ah atau orang fasik
dengan maksud mengambil ilmu dari pelaku bid’ah dan orang fasik tersebut, lalu
dengan itu dikhawatirkan ia akan mendapat madharat, maka ia harus menasehatinya
dan memberikan penjelasan mengenai keadaan sebenarnya. Dengan syarat hal itu
betul-betul dimaksudkan untuk memberi nasehat. Ini memang berpotensi untuk
terjadi kekeliruan, sebab terkadang si pemberi nasehat memiliki tendensi
kedengkian, hingga syaithan mencampuradukkan antara nasehat dengan kedengkian
itu. Syaithan menghadirkan bayangan padanya bahwa hal itu adalah nasehat,
akhirnya ia terjerumus dalam fitnah.
Yang juga termasuk dalam point ini adalah bahwa ia memiliki kekuasaan yang
tidak ia tegakkan dengan semestinya. Boleh jadi karena memang ia tidak layak.
Atau boleh jadi karena ia fasiq maupun lalai, atau yang sejenis dengan itu.
Maka wajib hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki kewenangan lebih
tinggi di atasnya agar kelalaian itu dihilangkan atau orangnya diganti dengan
yang lebih kompeten. Atau diinformasikan mengenai apa saja agar pemilik
otoritas yang lebih tinggi dapat mengambil treatment sesuai tuntutan keadaan
orang yang lalai tersebut. Ia tidak boleh lengah. Ia harus berusaha untuk
mendorongnya agar istiqomah atau menggantinya.
Kelima, seseorang memperlihatkan secara terang-terangan (al- mujâhir)
kefasiqan atau perilaku bid’ahnya sebagaimana orang yang yang memperlihatkan
perbuatan minum khamr, menyita, mengambil upeti, pengumpulan harta secara
zhalim, memimpin dengan sistem yang bathil. Maka ini boleh untuk disebutkan
dikarenakan perbuatan itupun dilakukan terang-terangan (mujâharah).
Adapun hal-hal lain yang merupakan aib yang disembunyikan tidak boleh turut
disebut-sebut, kecuali adanya kebolehan yang disebabkan oleh alasan yang telah
kami sebutkan pada empat point sebelumnya.
Keenam, penyebutan
nama (at-ta’rîf). Jika seseorang telah dikenal luas dengan nama laqab (julukan)
seperti al-A’masy (Si Kabur Penglihatannya) atau al-A’raj (Si
Pincang), atau al- Ashamm (Si Tuli), al-A’maa (Si
Buta),al-Ahwal (Si Juling), dan lain sebagainya maka boleh menyebut
nama mereka dengan sebutan itu. Dan diharamkan menyebutkan sisi kekurangannya
yang lain. Maka, jika memungkinkan untuk menyebutkan namanya selain dengan
menggunakan julukan seperti itu, maka tentu lebih diutamakan.
Inilah enam sebab
yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besarnya mereka sepekati. Adapun
dalil-dalilnya adalah dari hadits-hadits shohih yang masyhur, diantaranya
adalah,
عن
عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال: “ائذنوا
له، بئس أخو العشيرة؟ ” ((متفق عليه)).
Dari Aisyah r.anha
bahwa seseorang meminta izin pada Nabi SAW, lalu beliau berkata: izinkanlah ia,
seburuk-buruk saudara suatu kabilah.(Muttafaq Alaih)
Al Bukhori berhujjah
dengan hadits ini mengenai kebolehan berghibah terhadap ahlul fasad (pembuat
kerusakan) dan ahlu ar rayb (menciptakan keraguan).
وعنها
قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ”ما أظن فلانًا وفلانًا يعرفان من
ديننا شيئًا” ((رواه البخاري)). قال الليث بن سعد أحد رواة هذا
الحديث: هذان الرجلان كانا من المنافقين
Dan masih dari
Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, aku melihat si fulan dan si fulan
tidaklah mengetahui sedikitpun dari perkara agama kami. (HR al
Bukhari). Al Layts ibn Sa’ad—salah seorang perawi hadits ini—berkata: kedua
orang yang disebut di sini adalah orang munafiq.
وعن
فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت: إن
أبا الجهم ومعاوية خطباني؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”أما معاوية،
فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه” ((متفق
عليه))
Dari Fathimah binti
Qays r.anha, ia berkata: aku mendatangi Nabi SAW lalu aku berkata, sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah telah mengkhitbahku. Lalu Rasulullah SAW berkata,
adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul
Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. (Muttafaq
alaih)
Dan dalam riwayat
Muslim, haditsnya berbunyi:
”وأما أبو الجهم فضراب للنساء”
Adapun Abul Jahm ia
suka memukul wanita.
Ini merupakan
penjelasan dari riwayat sebelumnya yang mengatakan ia tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya. Juga dikatakan bahwa makna ia tidak pernah meletakkan
tongkat dari pundaknya adalah katsiirul asfaar, yakni banyak bepergian.
وعن
زيد بن أرقم رضي الله عنه قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر
أصاب الناس فيه شدة، فقال عبد الله بن أبي: لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى
ينفضوا وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فأتيت رسول الله
صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد الله بن أبي ، فاجتهد يمينه:
ما فعل، فقالوا: كذب زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فوقع في نفسي مما قالوا
شدة حتى أنزل الله تعالى تصديقي {إذا جاءك المنافقون} ثم دعاهم النبي صلى الله عليه
وسلم، ليستغفر لهم فلووا رءوسهم. ((متفق عليه))
Dari Zaid bin Arqam
r.a, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah
perjalanan di mana orang-orang ditimpa kesulitan. Lalu Abdullah bin Ubay
berkata, jangan engkau memberi infaq kepada orang-orang yang bersama Rasulullah
supaya mereka bubar. Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya jika kita telah
kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang
lemah daripadanya”. Kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu aku
mengemukakan hal tadi, maka beliau mengutus kepada Abdullah bin Ubay, namun ia
bersumpah bahwa ia tidak melakukannya. Lalu orang-orang mengatakan¸ “Zaid telah
membohongi Rasulullah SAW”. Lalu beliau mencelaku dengan keras atas apa yang
orang-orang katakan hingga Allah SWT menurunkan apa yang dapat
membenarkanku {إذا
جاءك المنافقون} “apa
bila datang orang-orang munafiq” (QS Al Munaafiquun). Kemudian Nabi SAW
memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, tapi mereka memalingkan
wajah mereka. (Muttafaq
alayh)
وعن
عائشة رضي الله عنها قالت: قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم
: إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه، وهو لا
يعلم؟ قال: ”خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف” ((متفق عليه))
Dari Aisyah r.anha,
ia berkata: Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Abu
Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kepadaku apa
yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil secara diam-diam tanpa
sepengetahuannya”. Lalu Nabi SAW berkata “Ambillah apa yang mencukupimu dan
anak-anakmu dengan cara yang baik (bil ma’ruf)” (Muttafaq
Alayh).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar