Rabu, 17 April 2019

Membangun Sikap Kritis dan Menghindari Ghibah antar Aktifis (Kontekstualisasinya dalam menjalankan Amanah)



Ketika kita berbicara tentang kritik, kebanyakan orang merasa menghadapi dilema apakah nanti tidak jatuh pada ghibah...? padahal ghibah adalah dosa besar yang sangat dilarang dalam agama Islam. Sebagaimana kita ketahui dalam QS Al-Hujurat :12 
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.  Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.   Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?  Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Alloh.  Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”  (Al-Hujuroot : 12)


Ghibah atau membicarakan orang lain yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang dibencinya meskipun yang dibicarakan itu benar adanya, adalah dosa besar. Keharamannya disebut dalam ayat di atas dengan permisalan yang sangat menjijikkan.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,
"Setiap muslim haram darah, harta, dan kehormatannya atas muslim lainnya." (HR. Muslim)
Ibnu Abbas  mengatakan, "Sesungguhnya Alloh membuat perumpamaan ini untuk perbuatan ghibah, karena memakan daging bangkai adalah perbuatan haram yang menjijikkan, begitu juga ghibah, haram dalam pandangan agama dan buruk menurut penilaian jiwa."
Qatadah berkata, "Sebagaimana salah seorang kalian dilarang memakan daging saudaranya yang sudah mati, begitu juga wajib menjauhi menggunjingnya sewaktu ia masih hidup.”
Imam al-Qurthubi mengatakan, "Ijma' menyatakan bahwa ghibah termasuk salah satu dari dosa besar.  Dan wajib bertaubat kepada Alloh darinya."
Namun, dalam beberapa kondisi ternyata ghibah itu dibolehkan. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ghibah di atas mengatakan, "Ghibah (menggunjing) diharamkan menurut ijma'.  Tidak ada pengecualian darinya kecuali jika ada mashlahat yang lebih, seperti dalam konteks jarh wa ta'dil dan nasihat."  Khususnya apabila dia menjadi satu-satunya jalan untuk tercapai tujuan yang benar dan masyru’ (sesuai syariat). Contohnya, mengadukan kedzaliman orang atas dirinya, meminta fatwa, memberi nasihat, memperingatkan manusia atas kejahatan orang, meminta bantuan untuk merubah kemungkaran, serta untuk memberitahukan hal ihwal seseorang.

Ketika berbicara mengenai jabatan kita semua faham bahwa jabatan yang melekat pada seseorang adalah sebuah amanah, yang harus ada pertanggungjawabannya baik dihadapan manusia maupun dihadapan Allah SWT. Dalam sebuah hadits disebutkan,
Dari Abu Dzar RA Ia berkata “saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku? Maka beliau menepuk bahuku, kemudian bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sungguh kamu seorang yang lemah, sedangkan jabatan adalah suatu kepercayaan, yang pada hari kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan hak dan menunaikan dengan sebaik-baiknya. (HR. Muslim).
Ada beberapa pelajaran dari hadits diatas :
Pertama, memberikan gambaran betapa cintanya Rasulullah SAW kepada para sahabat2nya. Beliau tidak ingin sahabatnya terjerumus kedalam kebinasaan sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak mau memberikan jabatan kepada Abu Dzar karena beliau tahu betul akan kelebihan dan kelemahan para sahabatnya. Abu Dzar adalah orang yg lemah, sementara jabatan, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang kuat, berani dan bermental baja disamping harus jujur dan amanah. Seorang pejabat adalah seorang yang mampu menempatkan sesuatu secara profesional, memiliki visi ke depan tidak hanya kepentingan sesaat, pendek dan semu. Namun sampai jauh ke depan yakni negeri akhirat.

Kedua, hadist tersebut mengisaratkan kepada kita terutama bagi mereka yang memegang jabatan atau kekuasaan bahwa sesungguhnya jabatan adalah amanah, Amanah dari Allah dan juga amanah dari masyarakat/ummat.  

Pemahaman tentang pentingnya Right Man on The Right Place terhadap sebuah amanah inilah yang kadang telah membuat orang lupa terhadap obyektifitas terhadap kemampuan sesorang. Subyektifitas kelompok dan pribadi akan mendominasi dalam proses penentuannya. Untuk itu marilah kita kaji bersama agar dalam proses penentuan seseorang akan jabatan lebih mengedepankan obyektifitas.
Untuk itu ada beberapa faktor yang harus dipenuhi dalam menentukan siapa yang akan ditunjuk sebagai pengemban amanah agar muncul obyektifitas yang sesungguhnya.
Pertama : Calon pemegang amanah tentunya memili 


Ketahuilah bahwa Ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang sah menurut syari’at, di mana ada suatu keperluan yang tidak dapat tercapai kecuali dengan melakukan ghibah tersebut. Ada enam kondisi yang membolehkan ghibah dilakukan:
Pertama, mengadukan kezhaliman (at-tazhallum). Boleh bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan kezhaliman yang menimpa dirinya kepada penguasa, qadhi, atau yang memiliki otoritas hukum ataupun pihak yang berwajib lainnya. Ia dapat menuntut keadilan ditegakkan, misalnya dengan mengatakan Si Fulan telah melakukan kezhaliman terhadapku dengan cara seperti ini dan itu
Kedua, permintaan bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiyat pada kebenaran (al isti’ânah ‘ala taghyîril munkar wa raddal ‘âshi ila ash shawâb). Maka seseorang boleh menyampaikan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan Si Fulan telah berbuat begini, hingga selamatlah orang tersebut dari kemaksiyatan atau kemungkaran. Ataupun dengan pernyataan lain yang sejenis dengan itu, yang jelas maksudnya adalah mengarah kepada terhilangkannya suatu kemungkaran. Tapi jika tidak mengarah kepada hal semacam ini, maka tersebut adalah haram
Ketiga, permintaan fatwa (al istiftâ`). Misal seseorang mengatakan kepada seorang mufti (pemberi fatwa), ayahku (atau saudaraku atau suamiku atau fulan) telah menzhalimi aku dengan cara begini. Lalu apa yang harus aku perbuat padanya?; bagaimana cara agar aku terlepas darinya, mendapatkan hakku, dan terlindung dari kezhaliman itu? Atau pernyataan apapun yang semacam itu. Maka ini hukumnya boleh jika diperlukan. Tapi lebih tepat dan lebih afdhal jika ia mengatakan, bagaimana pendapat Anda tentang orang atau seoseorang, atau seorang suami yang telah memperbuat hal seperti ini? Maka ini dapat membuatnya mencapai hasil (jawaban) tanpa harus menyebutkan rinciannya (tanpa perlu menyebut siapa orangnya, red). Meskipun demikian, tetap diperbolehkan untuk melakukan rincian (at ta’yîn), sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits dari Hindun nanti, insyaallah.
Keempat, memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap suatu keburukan dan menasihati mereka (tahdzîrul muslimîn min asy syarr wa nashîhatuhum). Ini ada beberapa bentuk, diantaranya adalah menyebutkan keburukan sifat orang yang memang pantas disebutkan keburukannya (jarhul majrûhîn) yakni dari kalangan para perawi hadits dan saksi-saksi (di pengadilan, red). Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan bisa menjadi wajib untuk suatu keperluan tertentu. Contoh lainnya adalah meminta masukan atau pendapat (musyawarah) tentang rencana melakukan pernikahan dengan seseorang (mushâharah), kerjasama, memutuskan kerjasama, mua’amalat dan lain sebagainya, atau tentang hubungan ketetanggaan. Maka wajib bagi orang yang dimintai masukan untuk tidak menyembunyikan informasi seputar orang yang ingin diketahui keadaan dirinya. Bahkan ia mesti menyebutkan perangai-perangai buruknya yang memang diniatkan untuk melakukan nasehat. Contoh lainnya lagi adalah jika seseorang melihat orang lain yang belajar agama yang berulang kali datang kepada orang yang berbuat bid’ah atau orang fasik dengan maksud mengambil ilmu dari pelaku bid’ah dan orang fasik tersebut, lalu dengan itu dikhawatirkan ia akan mendapat madharat, maka ia harus menasehatinya dan memberikan penjelasan mengenai keadaan sebenarnya. Dengan syarat hal itu betul-betul dimaksudkan untuk memberi nasehat. Ini memang berpotensi untuk terjadi kekeliruan, sebab terkadang si pemberi nasehat memiliki tendensi kedengkian, hingga syaithan mencampuradukkan antara nasehat dengan kedengkian itu. Syaithan menghadirkan bayangan padanya bahwa hal itu adalah nasehat, akhirnya ia terjerumus dalam fitnah.
Yang juga termasuk dalam point ini adalah bahwa ia memiliki kekuasaan yang tidak ia tegakkan dengan semestinya. Boleh jadi karena memang ia tidak layak. Atau boleh jadi karena ia fasiq maupun lalai, atau yang sejenis dengan itu. Maka wajib hal itu diungkapkan kepada orang yang memiliki kewenangan lebih tinggi di atasnya agar kelalaian itu dihilangkan atau orangnya diganti dengan yang lebih kompeten. Atau diinformasikan mengenai apa saja agar pemilik otoritas yang lebih tinggi dapat mengambil treatment sesuai tuntutan keadaan orang yang lalai tersebut. Ia tidak boleh lengah. Ia harus berusaha untuk mendorongnya agar istiqomah atau menggantinya.
Kelima, seseorang memperlihatkan secara terang-terangan (al- mujâhir) kefasiqan atau perilaku bid’ahnya sebagaimana orang yang yang memperlihatkan perbuatan minum khamr, menyita, mengambil upeti, pengumpulan harta secara zhalim, memimpin dengan sistem yang bathil. Maka ini boleh untuk disebutkan dikarenakan perbuatan itupun dilakukan terang-terangan (mujâharah). Adapun hal-hal lain yang merupakan aib yang disembunyikan tidak boleh turut disebut-sebut, kecuali adanya kebolehan yang disebabkan oleh alasan yang telah kami sebutkan pada empat point sebelumnya.
Keenam, penyebutan nama (at-ta’rîf). Jika seseorang telah dikenal luas dengan nama laqab (julukan) seperti al-A’masy (Si Kabur Penglihatannya) atau al-A’raj (Si Pincang), atau al- Ashamm (Si Tuli), al-A’maa (Si Buta),al-Ahwal (Si Juling), dan lain sebagainya maka boleh menyebut nama mereka dengan sebutan itu. Dan diharamkan menyebutkan sisi kekurangannya yang lain. Maka, jika memungkinkan untuk menyebutkan namanya selain dengan menggunakan julukan seperti itu, maka tentu lebih diutamakan.
Inilah enam sebab yang disebutkan oleh para ulama dan sebagian besarnya mereka sepekati. Adapun dalil-dalilnya adalah dari hadits-hadits shohih yang masyhur, diantaranya adalah,
عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال‏:‏ “ائذنوا له، بئس أخو العشيرة‏؟‏ ‏”‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏‏.‏
Dari Aisyah r.anha bahwa seseorang meminta izin pada Nabi SAW, lalu beliau berkata: izinkanlah ia, seburuk-buruk saudara suatu kabilah.(Muttafaq Alaih)
Al Bukhori berhujjah dengan hadits ini mengenai kebolehan berghibah terhadap ahlul fasad (pembuat kerusakan) dan ahlu ar rayb (menciptakan keraguan).
وعنها قالت‏:‏ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏”‏ما أظن فلانًا وفلانًا يعرفان من ديننا شيئًا‏”‏ ‏(‏‏(‏رواه البخاري‏)‏‏)‏‏.‏ قال الليث بن سعد أحد رواة هذا الحديث‏:‏ هذان الرجلان كانا من المنافقين
Dan masih dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, aku melihat si fulan dan si fulan tidaklah mengetahui sedikitpun dari perkara agama kami. (HR al Bukhari). Al Layts ibn Sa’ad—salah seorang perawi hadits ini—berkata: kedua orang yang disebut di sini adalah orang munafiq.
وعن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏”‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏
Dari Fathimah binti Qays r.anha, ia berkata: aku mendatangi Nabi SAW lalu aku berkata, sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah mengkhitbahku. Lalu Rasulullah SAW berkata, adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. (Muttafaq alaih)
Dan dalam riwayat Muslim, haditsnya berbunyi:
‏”‏وأما أبو الجهم فضراب للنساء‏”‏
Adapun Abul Jahm ia suka memukul wanita.
Ini merupakan penjelasan dari riwayat sebelumnya yang mengatakan ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Juga dikatakan bahwa makna ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya adalah katsiirul asfaar, yakni banyak bepergian.
وعن زيد بن أرقم رضي الله عنه قال‏:‏ خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر أصاب الناس فيه شدة، فقال عبد الله بن أبي‏:‏ لا تنفقوا على من عند رسول الله حتى ينفضوا وقال‏:‏ لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بذلك، فأرسل إلى عبد الله بن أبي ، فاجتهد يمينه‏:‏ ما فعل، فقالوا‏:‏ كذب زيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فوقع في نفسي مما قالوا شدة حتى أنزل الله تعالى تصديقي ‏{‏إذا جاءك المنافقون‏}‏ ثم دعاهم النبي صلى الله عليه وسلم، ليستغفر لهم فلووا رءوسهم‏.‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)
Dari Zaid bin Arqam r.a, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan di mana orang-orang ditimpa kesulitan. Lalu Abdullah bin Ubay berkata, jangan engkau memberi infaq kepada orang-orang yang bersama Rasulullah supaya mereka bubar. Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”. Kemudian aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu aku mengemukakan hal tadi, maka beliau mengutus kepada Abdullah bin Ubay, namun ia bersumpah bahwa ia tidak melakukannya. Lalu orang-orang mengatakan¸ “Zaid telah membohongi Rasulullah SAW”. Lalu beliau mencelaku dengan keras atas apa yang orang-orang katakan hingga Allah SWT menurunkan apa yang dapat membenarkanku ‏{‏إذا جاءك المنافقون‏} “apa bila datang orang-orang munafiq” (QS Al Munaafiquun). Kemudian Nabi SAW memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, tapi mereka memalingkan wajah mereka. (Muttafaq alayh)
وعن عائشة رضي الله عنها قالت‏:‏ قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم ‏:‏ إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه، وهو لا يعلم‏؟‏ قال‏:‏ ‏”‏خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف‏”‏ ‏(‏‏(‏متفق عليه‏)‏‏)‏
Dari Aisyah r.anha, ia berkata: Hindun istri Abu Sufyan berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupi aku dan anakku kecuali apa yang aku ambil secara diam-diam tanpa sepengetahuannya”. Lalu Nabi SAW berkata “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (bil ma’ruf)” (Muttafaq Alayh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar